Sanksi/Hukuman Bagi Saksi Atas Keterangan Palsu Yang Diberikan di Persidangan

Sanksi/Hukuman Bagi Saksi Atas Keterangan Palsu Yang Diberikan di Persidangan - Ada kasus seperti ini: "Ketika para saksi yang dibawa oleh penuntut umum memberikan keterangan palsu dalam persidangan, apakah para saksi tersebut dapat dikenakan hukuman dan/atau sanksi pidana? Apa saja pengaturan yang mendasari terkait kasus ini?

Sanksi/Hukuman Bagi Saksi Atas Keterangan Palsu Yang Diberikan di Persidangan

Saksi yang memberikan keterangan palsu dalam persidangan dapat diancam hukuman dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh tahun) menurut KUHP.

Sedangkan, dalam tindak pidana korupsi, saksi yang sengaja memberi keterangan tidak benar dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Ancaman Pidana Bagi Saksi yang Memberikan Keterangan Palsu


Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Memberikan keterangan palsu saat menjadi saksi di persidangan dapat diancam dengan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 242 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang memberi keterangan di atas sumpah atau yang biasa disebut delik Sumpah Palsu/Keterangan Palsu.

R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 183) menjelaskan bahwa supaya dapat dihukum unsur-unsur ini harus dipenuhi:

  1. Keterangan itu harus di atas sumpah.
  2. Keterangan itu harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu.
  3. Keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuan ini diketahui oleh pemberi keterangan.

Susilo juga menambahkan bahwa supaya dapat dihukum pembuat harus mengetahui bahwa ia memberikan suatu keterangan dengan sadar bertentangan dengan kenyataan dan bahwa ia memberikan keterangan palsu ini di atas sumpah.

Jika pembuat menyangka bahwa keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, akan tetapi akhirnya keterangan ini tidak benar, dengan lain perkataan, jika ternyata ia tidak mengenal sesungguhnya mana yang benar, maka ia tidak dapat dihukum.

Menyembunyikan kebenaran itu belum berarti suatu keterangan palsu. Suatu keterangan palsu itu menyatakan keadaan lain dari pada keadaan yang sebenarnya dengan dikehendaki (disengaja).

Sebelum saksi tersebut dituntut melakukan tindak pidana memberikan keterangan palsu, hakim memperingatkan saksi terlebih dahulu.

Pasal 174 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) menyatakan bahwa apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.

Kemudian, apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.

Persoalan Keterangan Palsu Juga Dikenal dalam UU Tindak Pidana Korupsi

Sekedar tambahan informasi, bahwa persoalan saksi memberi keterangan palsu di persidangan juga dikenal dalam perkara korupsi, seperti diatur Pasal 22 jo. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU 20/2001”).

Ancaman sanksi pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Demikian informasi kami sampaikan terkait Sanksi/Hukuman Bagi Saksi Atas Keterangan Palsu Yang Diberikan di Persidangan. Semoga bermanfaat bagi semuanya.

Related Posts:

Sejarah Hukum Pasar Modal di Indonesia

Sejarah hukum Pasar Modal di Indonesia memang tak lepas dari sejarah pasar modal secara universal. Nah, dari keseluruhan proses perkembangan pasar modal, maka dengan menggunakan faset yuridis sebagai acuan, sejarah perkembangan pasar modal di Indonesia ini dapat kita kategorikan ke dalam 6 tahapan sebagai berikut:
  1. Era Permulaan (1867 - 1912)
  2. Era Institusionalisasi Konvensional (1912 - 1952)
  3. Era Kebangkitan Kembali (1952 - 1976)
  4. Era Institusionalisasi Modern (1976 - 1988)
  5. Era Sosialisasi (1988 - 1996)
  6. Era Kepastian Hukum (1996 - sekarang).

Agar lebih jelasnya mengenai sejarah dan perkembangan di masing-masing era tersebut, berikut ini akan ditinjau masing-masing era yang bersangkutan.


1) Era Permulaan (1867 - 1912)

Sebelum tahun 1878, belum ada tanda-tanda dan catatan-catatan tentang telah adanya kegiatan-kegiatan di bidang bisnis pasar modal di Indonesia ini.

Dengan terbentuknya perusahaan Dunlop & Koff pada tahun 1878 (kemudian menjadi PT Perdanas), yakni yang merupakan perusahaan yang mempunyai kegiatan sebagai pedagang perantara di bidang perekonomian komoditi dan sekuritas, maka hal ini merupakan tonggak sejarah mengenai lahirnya kegiatan di bidang pasar modal sekaligus merupakan era permulaan dari sejarah hukum mengenai pasar modal itu.

2) Era Institusionalisasi Konvensional (1912 - 1952)

Pada era ini ditandai dengan pembentukan institusi terpenting di bidang pasar modal, yaitu dengan terbentuknya Bursa Efek di Indonesia. Dengan membentuk Bursa Efek ini, pemerintah Hindia Belanda mengambil contoh dari Bursa Efek yang ada di negeri Belanda waktu itu.

Tujuan pembentukan Bursa Efek di Indonesia waktu itu adalah untuk mendorong perekonomian dan menjaring dana-dana yang ada terutama untuk pembangunan di bidang perkebunan yang pada waktu itu memang sedang dilakukan secara besar-besaran.

Maka pada tanggal 14 Desember 1912, dibentuk dan mulai beroperasilah Bursa Efek Pertama di Indonesia, yaitu Bursa Efek Batavia yang beranggotakan 13 makelar sebagai anggota bursa, yaitu sebagai berikut:
  1. Firma Dunlop & Kolf
  2. Firma Gijselman & Steup
  3. Firma Monod & Co
  4. Firma Andree Witansi & Co
  5. Firma A.W. Deeleman
  6. Firma H. Jul Joostensz
  7. Firma Jeanette Walen
  8. Firma Wiekert & Geerlings
  9. Firma Welbrink & Co
  10. Firma Wieckert & Co
  11. Firma Vermeys & Co
  12. Firma Cruyff & co
  13. Firma Gebroeders Dull.

Pada waktu itu, sekuritas yang diperjualbelikan adalah:
  • Saham yang diterbitkan oleh perusahaan perkebunan Belanda.
  • Obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan perkebunan Belanda.
  • Obligasi Pemerintah Hindia Belanda (Oleh Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kotapraja).
  • Sertifikat saham dan efek-efek perusahaan di negeri Belanda.

Setelah berdirinya Bursa Efek Batavia (Jakarta), maka di Era Institusionalisasi Konvensional ini pula terbentuklah Bursa Efek Surabaya pada tanggal 11 Januari 1925, dan diikuti dengan terbentuknya Bursa Efek Semarang pada tanggal 1 Agustus 1925.

Akan tetapi, perdagangan efek di Era Institusionalisasi Konvensional tersebut tidak bisa bertahan lama dengan baik berhubung munculnya masa Resesi Dunia di tahun 1929, yang diikuti dengan Perang Dunia I dan II sampai dengan masuknya Jepang dan dimulainya pergerakan kemerdekaan. Bahkan, Bursa Efek Jakarta resmi ditutup pada tanggal 10 Mei 1940, sedangkan Bursa Efek Surabaya dan Semarang sudah lebih dahulu ditutup.

3) Era Kebangkitan Kembali (1952 - 1976)

Setelah penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia, perdagangan sekuritas mulai giat kembali dilakukan tetapi berlangsung secara tidak terkontrol dan tanpa suatu Bursa Efek sama sekali. Menyadari akan perlunya suatu bursa efek yang tertib, dan juga karena pemerintah Republik Indonesia telah mulai menerbitkan obligasi, di mana obligasi pemerintah RI pertama diterbitkan pada tahun 1950.

Maka pemerintah RI mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 13 Tahun 1951 pada tanggal 1 September 1952, yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 1952, yang mengatur tentang Bursa Efek.

Selanjutnya, pada tanggal 3 Juni 1952 Bursa Efek Jakarta pun dibuka kembali. Pelaksanaan bursa kala itu dilakukan oleh Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE) yang beranggotakan beberapa bank negara dan para pialang efek.

Pada waktu itu, objek yang diperdagangkan adalah Obligasi Pemerintah RI, seperti obligasi RI tahun 1950, Obligasi Pemerintah Hindia Belanda, dan Obligasi dan Efek dari perusahaan yang umumnya merupakan perusahaan Belanda.

Tetapi kemudian dengan adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dengan keluarnya Undang-undang Nomor 86 Tahun 1956, sengketa Irian Barat dengan Belanda, dan pembangunan ekonomi nasional yang tidak mendukung, maka perkembangan Bursa Efek pada era ini juga masih hidup segan mati tak mau sehingga tidak mencapai hasil seperti yang diharapkan.

Related Posts:

Perlindungan Konsumen (Pasien) Terhadap Kelalaian Apoteker Dalam Memberikan Obat

Ketika terdapat kasus terkait perlindungan konsumen yang dalam hal ini "Pasien", di mana terdapat kelalaian yang dilakukan oleh Apoteker dalam memberikan obat kepada pasien.

Ditinjau dari kejadian kasus tersebut, bagaimana perlindungan hukum bagi paduan atas kelalaian yang dilakukan oleh apoteker tersebut?

Kemudian, bagaimana upaya hukum yang harus ditempuh oleh pasien sebagai konsumen ketika terjadi kerugian atau merasa dirugikan atas kelalaian tersebut?

Apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan.

Perlindungan Konsumen (Pasien) Terhadap Apoteker Dalam Memberikan Obat

Dalam hal ini yang bertindak sebagai pelaku usaha adalah apoteker dan bertindak sebagai konsumen adalah pasien yang memakai jasa layanan kesehatan. Apoteker selaku pelaku usaha dilarang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang telah dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika Apoteker selaku pelaku usaha melanggar kewajiban standar ini, maka ia dapat dipidana maupun diberikan sanksi etik.

Pasien yang dirugikan dapat melaporkan apoteker yang bersangkutan kepada pihak berwajib untuk diproses secara pidana atau melakukan gugatan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yakni badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.

Definisi Apoteker berdasarkan Perundang-undangan

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (“PP 51/2009”) menjelaskan definisi atau pengertian Apoteker bahwa sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.

Adapun pengertian apotek adalah salah satu sarana atau Fasilitas Pelayanan Kefarmasian yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian di antara fasilitas–fasilitas lainnya, seperti instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama.

Standar Pelayanan Kefarmasian Terkait Pemberian Obat oleh Apoteker

Mengenai standarisasi pelayanan kefarmasian yang dipersyaratkan ini sebagai indikator atau tolak ukur untuk menilai kelalaian apoteker dalam memberikan obat. Secara umum, standar-standar pelayanan Kefarmasian itu antara lain adalah:

  1. Peran Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien yang membutuhkan.
  2. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait Obat (drug related problems), masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial (sociopharmacoeconomy).

Mengenai pemberian obat secara khusus, standar pelayanan kefarmasian atau yang khususnya dikenal sebagai Pelayanan farmasi klinik yang wajib dipatuhi apoteker adalah:

  1. pengkajian Resep, meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis
  2. Dispensing, terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi obat
  3. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
  4. konseling;
  5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
  6. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
  7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

Upaya Hukum Jika Pasien Dirugikan atas Kelalaian Apoteker

Bagi pasien yang telah dirugikan atas kelalaian apoteker yang bersangkutan, Anda dapat melaporkan apoteker yang bersangkutan kepada pihak berwajib untuk diproses secara pidana atau melakukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yakni badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.

Adapun mengenai tugas dan wewenang BPSK ini adalah:
  1. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara konsiliasi, mediasi atau arbitrase;
  2. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

Sekian informasi yang kami sampaikan terkait Perlindungan Konsumen (Pasien) Terhadap Apoteker Dalam Memberikan Obat. Semoga bermanfaat bagi semuanya.

Related Posts: